Kamis, 29 Maret 2012

Proses dan Cara terbentuknya Kuta di Tanah Karo


Pada  awalnya masyarakat Karo bermula di desa-desa yang berada di kawasan Tanah Karo, karena bagi masyrakat Karo desa adalah suatu tempat yang dimana pusat dari kehidupan mereka, hal ini disebabkan karena desa atau Kuta merupakan suatu persekutuan hukum yang dimana mempunyai makna sebagai tempat dimana yang memiliki kesatuan-kesatuan yang mempunyai suatu tata kepengurusan, teratur  sendiri dan kekayaan sendiri, baik itu kekayaan materil ataupun inmateril. 

Proses berdirinya suatu kuta ataupun suatu desa dalam Suku Karo, tidak bisa dipisahkan dengan hakekat yang ada dalam masyarakat karo, yaitu Rakut sitelu. Sehingga dalam suatu proses berdirinya suatu kuta itu pastilah harus menyertakan Rakut sitelu tersebut , yang dimana terdiri atas Senina, Anak Beru dan juga Kalimbubu. Adapun proses terjadinya suatu Kuta atau desa dalam masyrakat Karo adalah sebagai berikut. 

Pada awalnya suatu kampung atau Kuta itu didiami oleh sekelompok marga tertentu, yang dimana sekolompok marga yang mendiami suatu Kuta atau desa ini disebut dengan Simatek Kuta, yang dimana Simantek Kuta ini akan membawa Senina, Anak Beru dan juga Kalimbubu dari marga ini untuk membangu suatu kuta. Dalam hal ini Anak Beru berserta keturunanya yang dibawa oleh Simantek Kuta disebut dengan Anak Beru Singian Rudang, sedangkan Kalimbubu berserta keturunanya yang dibawa oleh Simantek kuta disebut dengan Kalimbubu Simajek Lulang. Namun, ketiga kelompok ini mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan Simantek Kuta, karena mereka inilah yang akan menjalankan dan mempunyai hak untuk menentukan suatu adat dalam Kuta tersebut, dan juga mempunyai peranan dalam mengatur tata kepengurusan Kuta atau Kampung.
Namun dengan berjalannya waktu, datanglah sekelompok penghuni-penghuni baru yang dimana mendiami Kuta atau desa tersebut, namun penghuni-penghuni baru dalam suatu Kuta atau desa itu dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Ginemgem, yang dimana keompok penghuni yang disebut Ginemgem ini mempunyai hubungan kekerabatan dengan Simatek Kuta, dengan cara memalakukan suatu perkawinan dengan keturunan Simatek Kuta. Dalam hal ini, kelompok Ginemgem ini tidak dikenakan suatu pungutan pajak atau uang oleh Simantek Kuta, tetapi kelompok Ginemgem ini harus berkerja kepada kelompok Simantek Kuta. 

Sedangkan kelompok penghuni-penghuni desa atau Kuta yang tidak mempunyai hubungan dengan Simantek Kuta, disebut dengan Rakyat Derip. Rakyat derip ini boleh membuka suatu lahan untuk mereka melakukan suatu pertanian, tetapi mereka juga harus membayar sewa tanah tersebut kepada Simantek Kuta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu Kuta atau desa dalam masyrakata Karo itu terdiri dari Simantek Kuta,Ginemgem dan Rakyat Derip. 

Dalam suatu Kuta atau Desa, segala kepengurusan Kuta atau desa itu dipegang oleh Simantek Kuta ataupun keturunannya, dan dibantu oleh Senina dan Anak Beru dari Simantek Kuta tersebut. Namun pada dewasa ini, setiap orang baik itu dari Simantek Kuta atau bukan bisa dan diberi kesempatan untuk memimpin suatu Kuta, walaupun masih ada beberapa Kuta di Tanah Karo yang masih berpegang bahwa pemipin kuta itu harus berasal dari Simantek Kuta. 

Adapun beberapa nama kuta yang berada di Tanah Karo adalah sebagai berikut Limang, Perbesi, Barus Jahe, Kabanjahe, Berastagi, Payung, Batu Karang, Tigaderket, Juhar, dan lain sebagainya. 

sekian tulisan saya, mengenai proses dan bagaimana suatu kuta di daerah Tanah Karo dapat terjadi. apabila ada coment dari pembaca, silkan dicomentari karena sedikit comentar saja dapat membut saya dan kita dapat menambah pengetahuan kita tentang budaya Karo. 
Refferensi :
Print Darwan S H, 1996. ADAT KARO. Medan:

Sebutan-Sebutan Orang Meninggal dalam SUKU KARO


 Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai multikultur, tak dapat dipungkiri di Negara ini banyak sekali suku-sukunya,contohnya saja Suku Jawa, Batak, Toraja dan Karo. Yang dimana disetiap suku-suku ini mempunyai banyal sekali budaya-budayanya terutama mengenai upacara adat, baik itu upacara kematian maupun upacara lainnya. Namun didalam unsur-unsur yang mempengaruhi di dalam  suatu upacara adat itu pun berbeda-beda. Contohnya saja, dalam Suku Karo, terdapat beberapa unsur dalam suatu upacara adat, misalnya didalam suatu upacara kematian, orang karo memiliki nama atau sebutan sendiri  untuk suatu kematian. Sehingga itu, disini saya mencoba membahas mengenai tata cara dalam kematian orang Karo dan juga sebutan-sebutan kematian bagi orang Karo.
Hal yang pertama yang dilakukan pada saat orang meninggal, di dalam Suku Karo adalah seseorang yang meninggal atau mati tadi harus dimandikan atau dibersihkan terlebih dahulu, setelah itu orang yang meninggal tadi dipakaikan baju yang rapi dan baik baginya, di kening dan kedua pipi orang yang meninggal tadi diberi dua garis yang sejajar, bibirnya diolesi dengan campuran sirih, kapur dan gambir, yang terakhir pada jempol kaki orang meninggal tersebut diikat atau disebut juga dengan Kalaki.  Tetapi, terkadang di dalam peti seorang yang meninggal itu diletakan beberapa barang-barang yang sangat berharga dan penting di saat orang itu masih hidup, contohnya dimasukan kain, obat-obatan, sandal ataupun sebagainya. 

Setelah orang yang meninggal tersebut dipakaikan pakaian, dimandikan dan tata cara pertama tadi diselesaikan. Barulah dipanggil seluruh Sangkep Enggeluh, yang dimana terdiri atas, isteri/suami, anak, kalimbubu, anak beru, anak beru menteri, sembuyak, senina, sepemberen dan separibanan. Untuk melakukan suatu rapart, yang dimana rapart ini berfungsi untuk mendiskusikan kapan orang meninggal ini dipestatakan, dimana dikubur, siapa saja yang diundang dan apa yang harus diipotong sebagai lauk pada saat acara pestanya nanti, serta apakah pestanya nanti rose atau tidak rose. Kemudian barulah anak beru dan anak beru menteri menyiapkan untuk pesta bagi orang yang meninggal ini. Itulah beberapa yang pertama-tama dilakukan bagi orang yang meninggal di Suku Karo, sebelum pesta adat kematian dijalankan.
Selain itu dalam suatu kematian di Karo, terdapat beberapa sebutan untuk orang yang meninggal.
Secara umum orang Karo membagikan kematian, adalah sebagai berikut: 

·         Cawer mertua 
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang yang meninggal tersebut telah lanjut usia, yang dimana dia telah mempunyai cucu dan juga anak-anaknya telah berkeluarga, dan satu lagi pihak kalimbubu telah Ngembahken Nakan. Tapi terkadang sebutan Cawer Mertu ini disebutkan kepada orang-orang yang meninggal dan dia telah lanjut usia, serta telah bercucu. 

·         Tabah-Tabah Galoh
Adalah suatu sebutan untuk orang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang tersebut telah berkeluarga, tetapi dia belum lanjut usia.
·         Mate Nguda
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana dalam hal ini orang yang telah meninggal itu belum berkeluarga, atau bisa juga orang yang telah berkeluarga tetapi anak-anaknya masih kecil-kecil semua. 

Sebutan untuk orang yang meninggal, berdasarkan penyebab atau keadaan kematiaanya, adalah sebagai berikut:
·         Mati dalam kandungan ( Batara Guru)
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan saat dia meninggal waktu dia belum lahir, dan roh dari yang meninggal inilah yang disebut dengan Batara Guru.
·         Mati belum dikenal jenis kelaminnya
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena saat seorang lahir belum cukup atau seorang yang meninggal karena lahir prematur, dan jenis kelaminya belum diketahui.
·         Mati sesudah lahir ( Bicara lahir)
            Adalah sebutan untuk orang yang meninggal sesaat dia telah lahir, dan roh yang berasal dari orang yang meninggal ini disebut dengan Bicara Guru.
·         Mati belum bergigi ( Lenga Ripen)
Adalah sebutan untuk orang yang meninggal, yang dimana saat  seseorang yang meninggal tersebut belum mempunyai gigi atau dengan kata lain giginya belum tumbuh. Dan pada saat akan menguburkan, anak yang meninggal dalam keadaan ini harus dikuburkan diam-diam, karena ditakutkan jasatnya akan diambil orang.
·         Mati anak-anak telah bergigi ( Enggo Ripen)
Adalah sebutan untuk orang yang telah meninggal, yang dimana orang telah meninggal itu telah mempunyai gigi atau giginya telah tumbuh.
·         Mati belum menikah ( mati singuda-nguda)
Adalah sebutan untuk orang yang telah meninggal, yang dimana orang meninggal tersebut masih perjaka atau gadis dan orang tersebut belum menikah. Dalam hal ini, orang yang mengalami mati singuda-nguda apabila dia laki-laki, maka pada saat pesta anak beru akan memasukan seruas bambu ke dalam kemaluannya, atau tongkol jagung apabila dia perempuan. Hal ini disebabkan agar saat seorang perjaka atau gadis itu meninggal dia telah dapat dikatakan telah menikah dan hutang dan kewajiban anak beru itu telah selesai.
·         Sirang Ture
Adalah sebutaan untuk orang yang meninggal, yang dimana orang yang meninggal tersebut disebabkan karena dia meninggal saat dia akan melahirkan anaknya. Pada zaman dulu, penguburan orang yang meninggal karena akan melahirkan dilakukan dengan cara dibakar, dan abunya dihanyutkan melalui sungai.
·         Mati Kayat-kayaten
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan dia menderita penyakit. Dan utang adata apabila orang yang meninggal ini adalah morah-morah kepada Kalimbubu, Pung Kalimbubu dan juga Anak Beru.
·         Mate Sada Wari
Adalah suatu sebutan untuk orang yang meninggal karena disebabkan meninggal pada saat pertemputan, bencana alam ataupun kecelakaan, seseorang yang meninggal Mate Sada Wari akan dibuatkan kuburan yang sendiri, dan terpisah dari penguburan umum.

Itulah beberapa sebutan untuk orang yang meninggal dalam Suku Karo, dan sekian tulisan dari saya mengenai sebutan untuk orang yang meninggal di dalam Suku, semoga tulisan ini dapat membantu kita untuk mengenal lebih dekat tentang budaya karo, terutama untuk kematian. Apabila ada comentar dan lainya, bisa di share agar kita dapat belajar dan berdiskusi bersama tentang sebutan orang meninggal dalam suku Karo.



Refferensi :
Print Darwan S H, 1996. ADAT KARO. Medan: