Rabu, 11 Juli 2012

Tata Cara Perkawinan Pertuturken dalam Suku Karo


Dalam masyrakat Karo, seorang pria maupun wanita diwajibkan harus menikah dengan impal mereka, diman tujuan ini dari pernikahan antar impal di dalam Suku Karo adalah untuk memperjalin hubungan yang sebelumnya sudah ada. Tetapi , tidak jarang juga di Suku Karo terjadi pernikahan yang terjadi bukan karena kedua pihak yaitu wanita dan laki-laki bukanlah impal. Pernikahan bukan dengan impal dalam Karo disebut juga dengan  Petuturken atau disebut juga dengan Ngerotasi Bide ( menerobos pagar).
Tata cara dalam perkawinan pertuturken ini memiliki perbedaan dengan pernikahan Erdemu Bayu (pernikahan terhadap impal dekat), dimana dalam pernikahan pertuturken hal yang pertama dilakukan adalah seorang pria dan seorang wanita yang telah lama pacaran dan berecana untuk menikah, kemudian pria tersebut memberitahukan niatnya itu kepada anak berunya agar anak berunya itu member tahukan kepada kedua orang tuanya atas niatnya tersebut, tetapi di sisi lain pihak anak beru ini akan bertanya kepada si pria demi mendapatkan kepastian dari pria tersebut.
Setelah si pria itu memberitahukan kepada anak berunya terhadap niatannya tersebut, maka pergilah anak beru si pria tersebut ke rumah si pria tersebut untuk memberitahukan niatan si pria kepada orang tuanya, dan setelah anak beru memberitahukan kepada kedua orang tua pria tersebut, maka pergilah kedua orang tua pria tersebut bersama anak berunya ke rumah pihak kalimbubu Singalo Ulu Emas dengan membawa ayam yang tujuannya adalah meminta izin dan memberitahukan kepada pihak kalimbubu Singalo Ulu Emas bahwa anaknya menikah bukan dengan impalnya.
Setelah pemberitahuan kepada Kalimbubu Singalo Ulu Emas selesai dan pihak anak beru tadi mendapat izin dari orang tua si pria, maka pergilah pihak anak beru tadi untuk bertemu dengan wanita yang merupakan calon istri dari pihak laki-laki tersebut, untuk menanyakan siapakah anak beru dari wanita tersebut. Setelah Anak Beru tadi mengetahui siapa Anak Beru dari wanita tersebut, maka pergilah Anak Beru pihak laki-laki tersebut ke rumah Anak Beru wanita, untuk memberitahukan niat dari si laki-lak untuk menikahi si perempuan, supaya anak beru pihak perempuan tersebut dapat memberitahukan kepada kedua orang tua si perempuan terhadap niatan dari si Laki-laki dan perempuan tersebut untuk menikah.
Kemudian berangkatlah anak beru perempuan ke rumah perempuan tersebut, untuk memberitahukan kepada kedua orang tua perempuan tersebut terhadap niatan si anak tadi untuk menikah bukan dengan impalnya. Di sisi lain orang tua perempuan tersebut akan bertanya kepada anak berunya (pembawa berita) mengenai anak laki-laki yang akan menikahi anak perempuannya, dan juga memberikan kesempatan kepada anak berunya untuk memberikan persetujuan kepada anak berunya terhadap rencana tersebut. Apabila orang tua perempuan tersebut menyetujui rencana tersebut, maka Anak Beru perempuan tersebut akan meberitahukan kepada Anak Beru laki-laki untuk mengetahui hasil yang sudah disepakati antara Anak beru dengan kedua orang tua perempuan tersebut. Dan apabila orang tua dari pihak perempuan tersebut menyetujui niat dari anaknya tersebut, maka datanglah pihak pria tersebut ke rumah si Perempuan untuk MABA Belo Selambar (membawa selembar sirih).
Inilah beberapa tata cara dalam pernikahan Karo, yang bukan menilah dengan impal dekat atau sering disebut juga dengan Ngerotasi Bide.

Refrensi
-          Print Darwan S H, 1996. ADAT KARO. Medan:

Selasa, 03 Juli 2012

Bediom, Salah Satu Acara Kebudayaan yang Masih Ada di Lampung Barat

Mungkin perpindahan rumah dari satu rumah lama ke rumah yang baru itu sering terjadi di dalam masyrakat Indonesia dan mungkin juga di setiap provinsi ataupun suku-suku yang ada di Indonesia memiliki adat tersendiri untuk suatu acara perpindahan rumah yang dilakukan satu orang dari rumah yang lama ke rumah yang baru. Di kawasan Lampung Barat ataupun sekitar pesisir lampung, terdapat suatu acara adat, dimana acara adat ini berfungsi sebagai acara perpindahan rumah yang dilakukan oleh seseorang dari satu tempat yang lama ke tempat yang lebih baru. Dimana acara adat perpindahan yang ada di daerah lampung barat ini dinamakan Bediom.
Di dalam acara adat Bediom ini adalah berfungsi sebagai suatu upacara adat yang dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan perpindahaan rumah dari yang lama ke rumah yang baru, dengan catatan ketika seorang yang melakukan perpindahan ini harus membawa peralatan yang baru juga ketika mereka melakukan perpindahaan rumah tersebut. Adapun maksud dari acara adat Bediom yang dilakukan oleh masyrakat Lampung Barat dan pesisir ini, adalah sebagai suatu alat untuk merayakan tanda kesukuran kepada Tuhan yang telah memberikan hikmat. Di dalam acara Bediom ini sendiri terdapat doa-doa yang dilakukan, dimana doa yang ada di dalam acara Bediom ini sendiri disesuaikan dengan situasi yang terjadi di dalam keluarga yang melakukan acara Bediom ini. Dalam tata cara mengundang keluarga ataupun undangan untuk acara Bediom, antara satu keluarga dengan keluarga yang lain sangat berbeda, dimana perbedaan ini disebabkan karena adanya kondisi dan situasi yang berbeda pula antara keluarga satu dengan keluarga yang lainnya, semakin mampu kondisi dan situasi dimiliki oleh keluarga yang melakukan Bediom tersebut maka acara tersebut semakin meriah.
Dalam melakukan acara Bediom ini tidak bisa sembarang waktu melakukan acara ini, dimana terdapat waktu-waktu tertentu agar acara ini dapat berjalan baik, dan menjadi waktu yang baek dalam melakukan acara ini, dimana waktu yang baik dalam melakukan acara Bediom ini adalah mulai jam 4.30 pagi sampai dengan jam 05.00, dan juga pelaksanaan Bediom ini dilakukan pada hari-hari yang baik seperti Bulan Muharam, Bulan Maulud, dan Bulan Haji. Selain waktu, peralatan merupakan salah satu yang cukup penting dalam pelaksanaan acara Beliom ini, dimana peralatan yang dibawa antara lain adalah peralatan masak, tempat tidur dan lampu, dan juga membawa Sajadah dan Al-Qur’an, selain itu peralatan yang dibawa ini memiliki fungsi tertentu. Lampu dibawa oleh keluarga yang melakukan acara ini dibawa dari rumah yang lama sampai menuju rumah yang baru. Sajadah dan Al-Qur’an dibawa oleh seorang yang menjadi kepala rumah tangga yang melakukan acara ini, dimana ini pertanda sebagai kepala rumah tangga ini adalah imam dan pemimpin bagi keluarganya. Sedangkan peralatan masak yang dibawa menunjukan bahwa keluarga ini akan memulai dengan kehidupan yang baru di rumah yang baru, dimana kediamaan keluarga yang sudah siap dihuni disebut dengan Bediom di Lamban (rumah), Acara Bediom ini sampai saat ini masih di jaga oleh masyrakat Lampung Barat.
Bediom ini mungkin salah satu kebudayaan yang ada ada di Negara ini, dan masih menjadi tradisi yang kuat di dalam Masyrakat lampung. Tetapi, masih banyak kebudayaan yang ada di Negaraini, dan merupakan tugas kita sebagai penerus bangsa ini untuk menjagai kebudayaan yang ada di Negara ini agar tidak mudah, dan semoga dengan adanya salah satu contoh dari Budaya yang ada dinegara ini yang masih terjaga dan dilestarikan, budaya yang lain di Negara ini juga bisa kita lestarikan dan kita jaga layaknya acara kebudayan Bediom ini.

Kamis, 21 Juni 2012

Bentuk-Bentuk Keagungan kematian dalam Masyarakat Karo


Dalam masyarakat Karo setiap orang yang telah meninggal akan diberikan beberapa bentuk keagungan upacara kematian, dimana bentuk keagunagan dari upacara kematian ini merupakan suatau rasa penghormatan dari sanak keluarga dari orang yang telah meninggal tersebut.  Bentuk dari keagungan upacara kematian dalam masyarakat Karo adalah suatu Usungan. 

Adapun bentuk-bentuk usungan dalam suatu keagungan upacara kematian dalam masyrakat Karo adalah sebagai berikut; 

-          Pating-pating ( Lante Empat Mbeka)
Pating-pating merupakan suatu usungan yang paling sederhana dibanding usungan lainnya, dimana usungan ini terbuat dari sebatang Bambu, dimana cara membawa orang yang telah meninggal ke kuburang dalam usungan ini adalah kalimbubu memikul bagian dari kepala yang telah meninggal, sedangkan sembunyak memikul bagian tengah dari yang telah meninggal dan di bagian belakang atau kaki dipikul oleh anak beru.

-          Sapo-Sapo / Sapo gunung
Sapo-Sapo atau Sapo Gunung merupakan suatu usungan yang terbuat dari sebatang Bambu ( perlanja), dimana cara membawa orang yang telah meninggal kekuburan hampir sama dengan usungan Pating-pating. 

-          Lige-lige
Lige-lige merupakan suatu bentuk usungan yang berbentuk guriten, dimana usungan ini dibuat bertingkat dua atau lebih. Usungan lige-lige ini dibuat hanya untuk orang-orang yang berasal dari bangsa taneh atau orang-orang yang berasal dari yang mempunyai kampong. Usungan ini dibuat dari dua buah bambu yang salah satunya berada di bagian bawah, sehingga dapat memudahkan untuk mengangkat ke atas. 

-          Kalimbaban atau Kejeren
Kalimbaban atau Kejeren merupakan suatu bentuk usungan yang berbentuk sperti Guriten, tetapi biasanya bentuk usungan ini terdapat di daerah Gunung-gunung atau Urung Julu, dan juga bentuk usungan ini merupan suatu guriten yang bertingkat Sembilan atau sebelas, dimana cara membawa usungan ini adalah dengan cara ditarik beramai-ramai dan juga sepanjang jalan menuju ke keburan akan disebarkan padi. 

Inilah beberapa bentuk usungan-usungan yang merupakan suatu bentuk keagungan kematian dan juga rasa penghormatan kepada orang yang telah meninggal dalam masyrakat Karo, selain itu cara-cara usungan seperti yang ada diatas, pada saat ini sudah sangat jarang yang dilakukan dalam masyrakat Karo, seperti di dalam buku yang saya baca, penulis mengatakan bahwa usunga-usungan seperti Kalimbaban terakhir kali dilakukan di Perbesi pada tahun 1931. Sekian tulisan saya mengenai bentuk-bentuk keagungan kematian dalam masyrakat Karo, semoga tulisan ini dapat membantu dan memberikan informasi yang lebih kepada teman-teman pembaca. 

Refrensi :
-          Print Darwan S H, 1996. ADAT KARO. Medan:

Sabtu, 26 Mei 2012

Cimpa, Salah Satu Makanan Penting dalam Kerja Adat Karo


Masyarakat karo memiliki banyak sekali kerja-kerja adat yang dimana antara lain kerja-kerja adat itu adalah Kerja Tahun atau merdang-merdang, pernikahan, kematian dan lainya. Selain itu masyarakat Karo juga mempunyai makanan, dimana makanan tersebut adalah cimpa. Cimpa adalah salah satu makanan yang sangat penting dan harus ada di setiap pelaksanaan kerja-kerja adat Suku Karo seperti pesta adat pernikahan, kerja tahun atau merdang-merdang dan kerja adat kematian, apabila dalam suatu kerja-kerja adat di dalam masyrakat karo itu tidak ada cimpa, maka kerja adat-adat itu rasanya ada yang kurang.
Cimpa sendiri merupakan suatu makanan yang sangat gampang dibuatnya, dan juga tidak memerlukan banyak bahan-bahan masakan, dimana cimpa itu terbuat dari adonan sagu atau tepung yang diisi  dengan campuran kelapa dan  gula merah atau yang disebut dengan inti, dan dibungkus dengan daun pisang ataupun daun palma. Cimpa itu sendiri terbagi atas tiga jenis  yaitu cimpa unung, cimpa tuang dan cimpa matah, dimana yang menjadi perbedaan diantara jenis-jeins cimpa itu hanya cara pembuatannya saja, dan juga pembuatan cimpa itu sendiri terhitung sangat mudah. Dalam pembuatan cimpa unung, semua bahan seperti terigu atau tepung, telur, kalapa, dan gula merah diampur menjadi satu adonan, lalu digoreng diatas panci yang sudah diolesi daging lemak sapi. Sedangkan dalam pembuatan cimpa unung, sagu atau tepung ketan dicampur dengan air sedikit inolah yang merupakan namnya adonan, lalu diisi dengan sedikit campuran dari kelapa dan gula merah atau sering disebut dengan inti. Setelah adonan tadi diisi dengan inti, lalu dibungkus dengan daun pisang ataupun daun palma, dan dikukus dengan kukusan sekitar 20 sampai 30 menit.
Pada awalanya pembuataan cimpa hanya dilakukan pada saat acara kerja tahun atau merdang-merdang saja, dimana pembuataan cimpa dilakukan pada hari ke enam pada saat kerja tahun atau merdang-merdang dan disediakan di setiap rumah-rumah yang ada disuatu kampong yang sedang melaksanakan kerja Tahun. Tetapi pada saat ini, disetiap kerja-kerja adat Karo selalu disediakan cimpa yang berfungsi sebagai makanan penghidang setelah acara makan-makan telah selesai.

Minggu, 20 Mei 2012

Perkade-kaden Sepuluh Dua tambah Sada


Dalam Suku Karo ada suatu struktur dalam hal kekerabatan kekeluargaan, yang dimana struktur tersebut dinamakan perkade-kaden sepuluh dua tambah sada, dimana  perkade-kaden sepuluh dua tambah sada ini merupakan suatu palas yang digunakan dalam setip adat Suku Karo, selain Merga Selima, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu.  Selain itu, perkaden-kaden sepuluh dua tambah sada juga merupakan suatu hal sangat penting dalam system kekerabatan karo, karena di dalam perkade-kaden dua belas tambah sada ini terdiri dari panggilan dan juga tingkatan dalam suatu kekeluargaan di dalam Masyarakat Suku Karo.
Dimana perkade-kaden sepuluh dua tambah sada ini terdiri atas berikut ini, 

-          - Bulang, adalah suatu pangilan oleh kita kepada ayah dari bapak dan ibu kita.
-          - Nini.adalah suatu panggilan oleh kita kepada ibu dari bapak dan ibu kita, tapi biasanya panggilan nini ini akan diikuti dengan beru dari ibu bapak atau ibu kita. Contohnya, nini ribu, nini iting.
-         -  Bapak, adalah pangilan oleh kita kepada bapak kita, tapi juga digunakan untuk memanggil saudara laki-laki yang satu tingkat dengan bapak kita. Atau bisa juga digunakan untuk memangil suami dari saudara perempuan ibu kita.
-          - Nande, adalah panggilan oleh kita kepada ibu kita, tapi juga digunakan untuk memangil istri dari saudara yang setingkat dengan bapak kita.
-          - Mama, adalah panggilan oleh kita kepada saudara laki-laki dari ibu kita, atau bisa juga digunakan untuk memanggil seorang laki-laki yang satu marga dengan ibu kita tapi masih satu tingkat dengan ibu kita, atau juga panggilan untuk ayah dari istri kita.
-          - Mami, adalah panggilan oleh kita kepada istri dari saudara laki-laki dari ibu kita, atau bisa juga digunakan untuk memangil istri dari seorang laki-laki yang satu marga dengan ibu kita, atau juga panggilan untuk ibu dari istri kita.
-          - Bengkila, adalah panggilan oleh kita kepada suami dari saudara perempuan bapak kita, atau juga, digunakan kepada orang yang menikahi semarga denga kita tapi setingkat dengan ayah kita.
-            -  Bibi, adalah pangilan oleh kita kepada saudara perempuan dari ibu maupun ayah kita, atau juga bisa digunakan untuk memanggil seorang perempuan yang semarga dengan ayah dan ibu kita, tapi masih satu tingkat dengan ibu atau ayah kita.
-         -  Impal, adalah panggilan oleh kita kepada anak perempuan dari mama kita, atau juga seorang perempuan yang mempunyai marga sama dengan ibu kita tapi satu tingkat dengan kita, selain itu bisa digunakan untuk memanggil istri kita.
-          - Silih, adalah panggilan oleh kita kepada anak laki-laki dari mama kita, atau juga seorang laki-laki yang mempunyai marga sama dengan ibu kita, tapi satu tingkat dengan kita, selain itu digunakan juga untuk memanggil saudara laki-laki dari istri kita.
-          - Bere-bere, adalah panggilan oleh kita kepada anak dari saudara perempuan kita, kepada suami dari anak kita atau juga panggilan dari kita untuk seseorang yang mempunyai bere-bere yang sama dengan marga kita, tapi berada dibawah tingkat kita.
-         -  Permen, adalah panggilan dari kita kepada anak dari saudara laki-laki dari istri ataupun impal kita, tapi bisa juga digunakan untuk memanggil istri dari anak kita laki-laki.
-         -  Anak, adalah panggilan dari kita kepada anak kita, kepada anak dari saudara laki-laki kita maupun anak dari saudara perempuan istri kita. Tetapi bisa kita gunakan untuk memanggil seseorang yang bermarga sama dengan kita atau memiliki bere-bere yang sama dengan marga istri kita, tapi berada dibawah tingkat kita.
Diatas tadi adalah beberapa yang termasuk kedalam perkade-kaden sepuluh dua tambah sada, namun antara perkade-kaden sepuluh dua tambah sada dengan tutur siwaluh ini akan sangat memngikuti, dimana antara seseorang yang ingin berkenalan dengan seseorang harus bertanya tentang apa tutur mereka, baru setelah itu perkade-kaden sepuluh dua tambah sada terlaksana. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam seseorang yang berasal dari Suku karo itu harus mengerti dulu apa tutur siwaluh dia dengan orang-orang karo lainnya, barulah perkade-kaden sepuluh dua tambah sada terlaksana, atau dalam pertuturan hal pertama yang ditanya adlah kai dage orat tutur ta, terus jawabanya tutur siwaluh. Pertanyaan kedua uga dage siban tuturta, jawabanya ku ganjang teruhna.


 
Reffrensi :
-          Print Darwan S H, 1996. ADAT KARO. Medan,
-          Sitepu, kol.Inf.Purn. Sempa, 1950. Adat Karo Indonesia.
    Ginting, M.Ukur, 2008. Adat Karo Sirulo. Medan: